Entri Populer

Minggu, 13 Februari 2011

Sejarah Perkembangan Psikologi

Oleh: Dhika Maryanti
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya.

Menurut asalnya katanya, psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno: "ψυχή" (Psychē yang berarti jiwa) dan "-λογία" (-logia yang artinya ilmu) sehingga secara etimologis, psikologi dapat diartikan dengan ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, psikologi melalui sebuah perjalanan panjang. Bahkan sebelum Wundt mendeklarasiikan laboratoriumnya tahun 1879 – yang dipandang sebagai kelahiran psikologi sebagai ilmu – pandangan tentang manusia dapat ditelusuri jauh ke masa Yunani kuno. Dapat dikatakan bahwa sejarah psikologi sejalan dengan perkembangan intelekstual di Eropa, dan mendapatkan bentuk pragmatisnya di benua Amerika.

1. Psikologi Sebagai Bagian dari Filsafat dan Ilmu Faal
Sebelum 1879, psikologi dianggap sebagai bagian dari filsafat atau ilmu faal. Pada mulanya ahli-ahli filsafat dari zaman Yunani Kuno-lah yang mulai memikirkan gejala-gejala kejiwaan. Saat itu belum ada pembuktian-pembuktian secara empiris atau ilmiah. Mereka mencoba menerangkan gejala-gejala kejiwaan melalui mitologi. Cara pendekatan seperti itu disebut sebagai cara pendekatan yang naturalistik.
Di antara sarjana Yunani yang menggunakan pendekatan naturalistik adalah Thales (624-548 SM) yang sering disebut sebagai Bapak Filsafat, Anaximander (611-546 SM) yang mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari sesuatu yang tidak tentu, sementara Anaximenes (abad 6 SM) mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari udara. Tokoh yang tak kalah pentingnya adalah Empedocles, Hippocrates, dan Democritos.
Tokoh-tokoh Yunani kuno tersebut di atas pada dasarnya menganggap bahwa jiwa adalah satu dengan badan. Jiwa dan badan berasal dari unsur-unsur yang sama dan tunduk pada hukum-hukum yang sama (pandangan monoisme). Selain pandangan monoisme, tumbuh pula pandangan dualisme, yaitu pandangan yang memisahkan jiwa dari badan, jiwa tidak sama dengan badan, dan masing-masing tunduk pada peraturan-peraturan atau hukum-hukum yang terpisah. Tokoh-tokoh terkenal yang menganut pandangan dualisme antara lain: Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).
Aristoteles sering disebut sebagai Bapak Psikologi Empiris karena menurutnya segala sesuatu harus bertitik tolak dari realita, yaitu matter. Matter-lah sumber utama pengatahuan. Pandangan dan teori-teori Aristoteles tentang Psikologi dapat dilihat dalam bukunya yang terkenal De Anima, yang sesungguhnya merupakan buku tentang ilmu hewan komparatif dan biologi.

Berabad-abad setelah zaman Yunani Kuno, Psikologi masih merupakan bagian dari Filsafat. Pada masa Renaissance, di Francis muncul Rene Decartes (1596-1650) yang terkenal dengan teori tentang “kesadaran”, sementara di Inggris muncul tokoh-tokoh seperti John Locke (1623-1704), George Berkeley (1685-1753), James Mill (1773-1836), dan anaknya John Stuart Mill (1806-1873), yang semuanya itu dikenal sebagai tokoh-tokoh aliran Asosianisme.
Dalam perkembangan Psikologi selanjutnya, peran sejumlah sarjana ilmu Faal yang juga menaruh minat terhadap gejala-gejala kejiwaan tidak dapat diabaikan. Tokohnya antara lain: C. Bell (1774-1842), F. Magendie (1785-1855), J.P. Muller (1801-1858), P. Broca (1824-1880), dan sebagainya.

2. Psikologi Sebagai Ilmu yang Berdiri Sendiri.
Pada akhir abad ke-19 terjadilah babak baru dalam sejarah Psikologi. Pada tahun 1879, Wilhem Wundt (Jerman, 1832-1920) mendirikan laboratorium Psikologi pertama di Leipzig yang menandai titik awal Psikologi sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Sebagai tokoh Psikologi Eksperimental, Wundt memperkenalkan metode Introspeksi yang digunakan dalam eksperimen-eksperimennya. Ia dikenal sebagai tokoh penganut Strukturalisme karena ia mengemukakan suatu teori yang menguraikan struktur dari jiwa. Wundt percaya bahwa jiwa terdiri dari elemen-elemen (Elementisme) dan ada mekanisme terpenting dalam jiwa yang menghubungkan elemen-elemen kejiwaan satu sama lainnya sehingga membentuk suatu struktur kejiwaan yang utuh yang disebut asosiasi. Oleh karena itu, Wundt juga dianggap sebagai tokoh Asosianisme.
Edward Bradford Titchener (1867-1927) mencoba menyebarluaskan ajaran-ajaran Wundt ke Amerika. Akan tetapi, orang Amerika yang terkenal praktis dan pragmatis kurang suka pada teori Wundt yang dianggap terlalu abstrak dan kurang dapat diterapkan secara langsung dalam kenyataan. Mereka kemudian membentuk aliran sendiri yang disebut Fungsionalisme dengan tokoh-tokohnya antara lain: William James (1842-1910) dan James Mc Keen Cattel (1866-1944). Aliran ini lebih mengutamakan fungsi-fungsi jiwa dari pada mempelajari strukturnya. Ditemukannya teknik evaluasi psikologi (sekarang psikotest) oleh Cattel merupakan bukti betapa pragmatisnya orang-orang Amerika.
Meskipun sudah menekankan pragmatisme, namun aliran Fungsionalisme masih dianggap terlalu abstrak bagi segolongan sarjana Amerika. Mereka menghendaki agar Psikologi hanya mempelajari hal-hal yang benar-benar objektif saja. Mereka hanya mau mengakui tingkah laku yang nyata (dapat dilihat dan diukur) sebagai objek Psikologi (Behaviorisme). Pelopornya adalah John Broades Watson (1878-1958) yang kemudian dikembangkan oleh Edward Chase Tolman (1886-1959) dan B.F. Skinner (1904).
Selain di Amerika, di Jerman sendiri ajaran Wundt mulai mendapat kritik dan koreksi-koreksi. Salah satunya dari Oswald Kulpe (1862-1915), salah seorang muridnya yang kurang puas dengan ajaran Wundt dan kemudian mendirikan alirannya sendiri di Wurzburg. Aliran Wurzburg menolak anggapan Wundt bahwa berpikir itu selalu berupa image (bayangan dalam alam pikiran). Kulpe berpendapat, pada tingkat berpikir yang lebih tinggi apa yang dipikirkan itu tidak lagi berupa image, tapi ada pikiran yang tak terbayangkan (imageless thought).
Di Eropa muncul juga reaksi terhadap Wundt dari aliran Gestalt. Aliran Gestalt menolak ajaran elementisme Wundt dan berpendapat bahwa gejala kejiwaan (khususnya persepsi, yang banyak diteliti aliran ini) haruslah dilihat sebagai suatu keseluruhan yang utuh (suatu gestalt) yang tidak terpecah dalam bagian-bagian. Diantara tokohnya adalah Max Wertheimer (1880-1943), Kurt Koffka (1886-1941), Wolfgang Kohler (1887-1967) .Di Leipzig, pada tahun 1924 Krueger memperkenalkan istilah Ganzheit (berasal dari kata da Ganze yang berarti keseluruhan). Meskipun istilah Ganzheit masih dianggap sama dengan istilah Gestalt dan aliran ini sering tidak dianggap sebagai aliran tersendiri, namun menurut tokohnya, Krueger, Ganzheit tidak sama dengan Gestalt dan merupakan perkembangan dari psikologi Gestalt. Ia berpendapat bahwa psikologi Gestalt terlalu menitikberatkan kepada masalah persepsi objek, padahal yang terpenting adalah penghayatan secara menyeluruh terhadap ruang dan waktu, bukan persepsi saja atau totalitas objek-objek saja.
Perkembangan lebih lanjut dari psikologi Gestalt adalah munculnya “Teori Medan (Field Theory)” dari Kurt Lewin (1890-1947). Mulanya Lewin tertarik pada faham Gestalt, tetapi kemudian ia mengeritiknya karena dianggap tidak adekuat. Namun demikian, berkat Lerwin, sebagai perkembangan lebih lanjut di Amerika Serikat lahir aliran “Psikologi Kognitif” yang merupakan perpaduan antara aliran Behaviorisme yang tahun 1940-an sudah ada di Amerika dengan aliran Gestalt yang dibawa oleh Lewin. Aliran psikologi Kognitif sangat menitikberatkan proses-proses sentral (seperti sikap, ide, dan harapan) dalam mewujudkan tingkah laku. Secara khusus, hal-hal yang terjadi dalam alam kesadaran (kognisi) dipelajari oleh aliran ini sehingga besar pengaruhnya terutama dalam mempelajari hubungan antar manusia (Psikologi Sosial). Diantara tokohnya adalah F. Heider dan L. Fertinger.
Akhirnya, lahirnya aliran Psikoanalisa yang besar pengaruhnya dalam perkembangan psikologi hingga sekarang, perlu mendapat perhatian khusus. Meskipun peranan beberapa dokter ahli jiwa (psikiater), seperti Jean Martin Charcot (1825-1893) dan Pierre Janet 1859-1947) tidak kurang pentingnya dalam menumbuhkan aliran ini, namun Sigmund Freud-lah (1856-1939) yang dianggap sebagai tokoh utama yang melahirkan Psikoanalisa. Karena Psikoanalisa tidak hanya berusaha menjelaskan segala sesuatu yang tampak dari luar saja, tetapi secara khusus berusaha menerangkan apa yang terjadi di dalam atau di bawah kesadaran manusia, maka Psikoanalisa dikenal juga sebagai “Psikologi Dalam (Depth Pshology)”.



Sumber kepustakaan dalam semua tulisan dalam modul ini adalah:

Brennan, J.F. (1991). History and Systems of Psychology. New Jersey : Prentice Hall Inc.
Lundin, (1991). Theories and Systems of Psychology. 4 rd Ed. Toronto: D.C. Heath and CompanyPsikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya.

Menurut asalnya katanya, psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno: "ψυχή" (Psychē yang berarti jiwa) dan "-λογία" (-logia yang artinya ilmu) sehingga secara etimologis, psikologi dapat diartikan dengan ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, psikologi melalui sebuah perjalanan panjang. Bahkan sebelum Wundt mendeklarasiikan laboratoriumnya tahun 1879 – yang dipandang sebagai kelahiran psikologi sebagai ilmu – pandangan tentang manusia dapat ditelusuri jauh ke masa Yunani kuno. Dapat dikatakan bahwa sejarah psikologi sejalan dengan perkembangan intelekstual di Eropa, dan mendapatkan bentuk pragmatisnya di benua Amerika.

1. Psikologi Sebagai Bagian dari Filsafat dan Ilmu Faal
Sebelum 1879, psikologi dianggap sebagai bagian dari filsafat atau ilmu faal. Pada mulanya ahli-ahli filsafat dari zaman Yunani Kuno-lah yang mulai memikirkan gejala-gejala kejiwaan. Saat itu belum ada pembuktian-pembuktian secara empiris atau ilmiah. Mereka mencoba menerangkan gejala-gejala kejiwaan melalui mitologi. Cara pendekatan seperti itu disebut sebagai cara pendekatan yang naturalistik.
Di antara sarjana Yunani yang menggunakan pendekatan naturalistik adalah Thales (624-548 SM) yang sering disebut sebagai Bapak Filsafat, Anaximander (611-546 SM) yang mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari sesuatu yang tidak tentu, sementara Anaximenes (abad 6 SM) mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari udara. Tokoh yang tak kalah pentingnya adalah Empedocles, Hippocrates, dan Democritos.
Tokoh-tokoh Yunani kuno tersebut di atas pada dasarnya menganggap bahwa jiwa adalah satu dengan badan. Jiwa dan badan berasal dari unsur-unsur yang sama dan tunduk pada hukum-hukum yang sama (pandangan monoisme). Selain pandangan monoisme, tumbuh pula pandangan dualisme, yaitu pandangan yang memisahkan jiwa dari badan, jiwa tidak sama dengan badan, dan masing-masing tunduk pada peraturan-peraturan atau hukum-hukum yang terpisah. Tokoh-tokoh terkenal yang menganut pandangan dualisme antara lain: Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).
Aristoteles sering disebut sebagai Bapak Psikologi Empiris karena menurutnya segala sesuatu harus bertitik tolak dari realita, yaitu matter. Matter-lah sumber utama pengatahuan. Pandangan dan teori-teori Aristoteles tentang Psikologi dapat dilihat dalam bukunya yang terkenal De Anima, yang sesungguhnya merupakan buku tentang ilmu hewan komparatif dan biologi.

Berabad-abad setelah zaman Yunani Kuno, Psikologi masih merupakan bagian dari Filsafat. Pada masa Renaissance, di Francis muncul Rene Decartes (1596-1650) yang terkenal dengan teori tentang “kesadaran”, sementara di Inggris muncul tokoh-tokoh seperti John Locke (1623-1704), George Berkeley (1685-1753), James Mill (1773-1836), dan anaknya John Stuart Mill (1806-1873), yang semuanya itu dikenal sebagai tokoh-tokoh aliran Asosianisme.
Dalam perkembangan Psikologi selanjutnya, peran sejumlah sarjana ilmu Faal yang juga menaruh minat terhadap gejala-gejala kejiwaan tidak dapat diabaikan. Tokohnya antara lain: C. Bell (1774-1842), F. Magendie (1785-1855), J.P. Muller (1801-1858), P. Broca (1824-1880), dan sebagainya.

2. Psikologi Sebagai Ilmu yang Berdiri Sendiri.
Pada akhir abad ke-19 terjadilah babak baru dalam sejarah Psikologi. Pada tahun 1879, Wilhem Wundt (Jerman, 1832-1920) mendirikan laboratorium Psikologi pertama di Leipzig yang menandai titik awal Psikologi sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Sebagai tokoh Psikologi Eksperimental, Wundt memperkenalkan metode Introspeksi yang digunakan dalam eksperimen-eksperimennya. Ia dikenal sebagai tokoh penganut Strukturalisme karena ia mengemukakan suatu teori yang menguraikan struktur dari jiwa. Wundt percaya bahwa jiwa terdiri dari elemen-elemen (Elementisme) dan ada mekanisme terpenting dalam jiwa yang menghubungkan elemen-elemen kejiwaan satu sama lainnya sehingga membentuk suatu struktur kejiwaan yang utuh yang disebut asosiasi. Oleh karena itu, Wundt juga dianggap sebagai tokoh Asosianisme.
Edward Bradford Titchener (1867-1927) mencoba menyebarluaskan ajaran-ajaran Wundt ke Amerika. Akan tetapi, orang Amerika yang terkenal praktis dan pragmatis kurang suka pada teori Wundt yang dianggap terlalu abstrak dan kurang dapat diterapkan secara langsung dalam kenyataan. Mereka kemudian membentuk aliran sendiri yang disebut Fungsionalisme dengan tokoh-tokohnya antara lain: William James (1842-1910) dan James Mc Keen Cattel (1866-1944). Aliran ini lebih mengutamakan fungsi-fungsi jiwa dari pada mempelajari strukturnya. Ditemukannya teknik evaluasi psikologi (sekarang psikotest) oleh Cattel merupakan bukti betapa pragmatisnya orang-orang Amerika.
Meskipun sudah menekankan pragmatisme, namun aliran Fungsionalisme masih dianggap terlalu abstrak bagi segolongan sarjana Amerika. Mereka menghendaki agar Psikologi hanya mempelajari hal-hal yang benar-benar objektif saja. Mereka hanya mau mengakui tingkah laku yang nyata (dapat dilihat dan diukur) sebagai objek Psikologi (Behaviorisme). Pelopornya adalah John Broades Watson (1878-1958) yang kemudian dikembangkan oleh Edward Chase Tolman (1886-1959) dan B.F. Skinner (1904).
Selain di Amerika, di Jerman sendiri ajaran Wundt mulai mendapat kritik dan koreksi-koreksi. Salah satunya dari Oswald Kulpe (1862-1915), salah seorang muridnya yang kurang puas dengan ajaran Wundt dan kemudian mendirikan alirannya sendiri di Wurzburg. Aliran Wurzburg menolak anggapan Wundt bahwa berpikir itu selalu berupa image (bayangan dalam alam pikiran). Kulpe berpendapat, pada tingkat berpikir yang lebih tinggi apa yang dipikirkan itu tidak lagi berupa image, tapi ada pikiran yang tak terbayangkan (imageless thought).
Di Eropa muncul juga reaksi terhadap Wundt dari aliran Gestalt. Aliran Gestalt menolak ajaran elementisme Wundt dan berpendapat bahwa gejala kejiwaan (khususnya persepsi, yang banyak diteliti aliran ini) haruslah dilihat sebagai suatu keseluruhan yang utuh (suatu gestalt) yang tidak terpecah dalam bagian-bagian. Diantara tokohnya adalah Max Wertheimer (1880-1943), Kurt Koffka (1886-1941), Wolfgang Kohler (1887-1967) .Di Leipzig, pada tahun 1924 Krueger memperkenalkan istilah Ganzheit (berasal dari kata da Ganze yang berarti keseluruhan). Meskipun istilah Ganzheit masih dianggap sama dengan istilah Gestalt dan aliran ini sering tidak dianggap sebagai aliran tersendiri, namun menurut tokohnya, Krueger, Ganzheit tidak sama dengan Gestalt dan merupakan perkembangan dari psikologi Gestalt. Ia berpendapat bahwa psikologi Gestalt terlalu menitikberatkan kepada masalah persepsi objek, padahal yang terpenting adalah penghayatan secara menyeluruh terhadap ruang dan waktu, bukan persepsi saja atau totalitas objek-objek saja.
Perkembangan lebih lanjut dari psikologi Gestalt adalah munculnya “Teori Medan (Field Theory)” dari Kurt Lewin (1890-1947). Mulanya Lewin tertarik pada faham Gestalt, tetapi kemudian ia mengeritiknya karena dianggap tidak adekuat. Namun demikian, berkat Lerwin, sebagai perkembangan lebih lanjut di Amerika Serikat lahir aliran “Psikologi Kognitif” yang merupakan perpaduan antara aliran Behaviorisme yang tahun 1940-an sudah ada di Amerika dengan aliran Gestalt yang dibawa oleh Lewin. Aliran psikologi Kognitif sangat menitikberatkan proses-proses sentral (seperti sikap, ide, dan harapan) dalam mewujudkan tingkah laku. Secara khusus, hal-hal yang terjadi dalam alam kesadaran (kognisi) dipelajari oleh aliran ini sehingga besar pengaruhnya terutama dalam mempelajari hubungan antar manusia (Psikologi Sosial). Diantara tokohnya adalah F. Heider dan L. Fertinger.
Akhirnya, lahirnya aliran Psikoanalisa yang besar pengaruhnya dalam perkembangan psikologi hingga sekarang, perlu mendapat perhatian khusus. Meskipun peranan beberapa dokter ahli jiwa (psikiater), seperti Jean Martin Charcot (1825-1893) dan Pierre Janet 1859-1947) tidak kurang pentingnya dalam menumbuhkan aliran ini, namun Sigmund Freud-lah (1856-1939) yang dianggap sebagai tokoh utama yang melahirkan Psikoanalisa. Karena Psikoanalisa tidak hanya berusaha menjelaskan segala sesuatu yang tampak dari luar saja, tetapi secara khusus berusaha menerangkan apa yang terjadi di dalam atau di bawah kesadaran manusia, maka Psikoanalisa dikenal juga sebagai “Psikologi Dalam (Depth Pshology)”.



Sumber kepustakaan dalam semua tulisan dalam modul ini adalah:

Brennan, J.F. (1991). History and Systems of Psychology. New Jersey : Prentice Hall Inc.
Lundin, (1991). Theories and Systems of Psychology. 4 rd Ed. Toronto: D.C. Heath and Company

Tidak ada komentar:

Posting Komentar