Entri Populer

Selasa, 15 Februari 2011

Definisi, Sejarah, Tujuan Psikologi

Oleh: Rosidah Fatmawati
Definisi Psikologi menurut para Ahli



1. Menurut Bruno (1987)

Pengertian Psikologi dibagi dalam tiga bagian, yaitu: Pertama, psikologi adalah studi (penyelidikan) mengenai “ruh”. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “kehidup mental”. Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “tingkahlaku”organisme.

2. Menurut Sartain

Psychology is the scientific study of the behavior of living organism, with

especial attention given to human behavior.

“ Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku organisme yang hidup, terutama tingkah laku manusia ”.

3. Menurut Crow & Crow

Pschycology is the study of human behavior and human relationship.

“ Paikologi ialah tingkah laku manusia, yakni interaksi manusia dengan dunia sekitarnya, baik berupa manusia lain (human relationship) maupun bukan manusia (hewan, iklim, kebudayaan dan sebagainya)”.

4. Menurut Chaplin (1972) dalam Dictionary of Psychology

“ Psychology is the science of human and animal behavior,the study or organism in all its variety and complexity as it respond to the flux and flow of the physical and social events which make up the environment”.

Psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai perilaku manusia dan hewan, juga penyelidikan terhadap organisme dalam segala ragam dan kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan alam sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang mengubah lingkungan.

5. Menurut Richard Mayer (1981)

Psokologi merupakan analisi mengenai proses mental dan struktur daya ingat untuk memahami prilaku manusia.

6. Menurut Ensiklopedia Pendidikan, Poerbakawitja dan Harahap (1981)

Psikologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mengadakan penyelidikan atas gejala-gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa.

7. Menurut Ernest Hilgert (1957)

“Psychology may be defined as the science that studies the behavior of men and other animal, etc”.

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan lainnya.

8. Menurut Henry Gleitman (dalam syah, 1995:8)

Psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha memahami prilaku manusia, alasan, dan cara mereka melakukan sesuatu, dan juga memahami bagaimana makhluk tersebut berfikir dan berperasaan.

9. Menurut Edwin G. Boring & Herbert S. Langfeld

Psikologi adalah studi tentang hakikat manusia.

10. Menurut George A. Miller (dalam buku “psychology and communication)

“Psychology is the science that attempts to describe, predict, and control mental and behavioral events”.

Psikologi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan tingkah laku .

11. Menurut Clifford T. Morgan (dalam buku “Introduction to Psychology”)

“Psychology is the science of human and animal behavior”.

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan.

12. Menurut Robert S. Woodworth & Marquis DG (1957)

“Psychology is the study of human behavior and human relationship”.

Psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari aktivitas atau tingkah laku individu dalam hubungan dengan alam sekitarnya.

13. Menurut Knight & Knight

“Psychology may be efined as the systematic study of experience and behavior human and animal, normal and abnormal, individual and social”.

14. Menurut Ruch

“Psychology is sometimes defined as the study of man, but this definition is too broad. The truth is that psychology is party biological science and partly a social science, overlapping these two major areas and relating them each other”.

15. Menurut Wilhelm Wundt

Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia, seperti : perasaan panca indera, pikiran, feeling (perasaan), dan kehendak.

16. Menurut Paul Mussen & Mark R. Rosenzwieg

Psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari mind (pikiran), namun dalam perkembangannya, kata mind berubah menjadi behavior (tingkah laku), sehingga psikologi di definisikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.



17. Menurut John Broadus Watson

Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku tamapak (lahiriah) dengan menggunakan metode observasi yang objektif terhadap rangsang dan jawaban (respons).

18. Menurut Plato & Aris Toteles

Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.

19. Menurut Dr. Singgih Dirgagunarsa

Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia.

SUMBER : http://cybercounselingstain.bigforumpro.com/t36-definisi-psikologi-menurut-para-ahli

Sejarah Perkembangan Psokologi

Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, psikologi melalui sebuah perjalanan panjang. Bahkan sebelum Wundt mendeklarasiikan laboratoriumnya tahun 1879 – yang dipandang sebagai kelahiran psikologi sebagai ilmu – pandangan tentang manusia dapat ditelusuri jauh ke masa Yunani kuno. Dapat dikatakan bahwa sejarah psikologi sejalan dengan perkembangan intelekstual di Eropa, dan mendapatkan bentuk pragmatisnya di benua Amerika.

Berdasarkan pandangan tersebut, bagian Sejarah Psikologi ini akan dibagi ke dalam beberapa periode dengan berbagai tokohnya.




1. Psikologi sebagai bagian dari filsafat

· Masa Yunani

· Masa Renaisans

2. Psikologi sebagai bagian dari ilmu faal

· Masa Pasca Renaisans



3. Psikologi sebagai ilmu yang mandiri

· Masa akhir abad ke-19

Pada akhir abad ke-19 terjadilah babak baru dalam sejarah Psikologi. Pada tahun 1879, Wilhem Wundt (Jerman, 1832-1920) mendirikan laboratorium Psikologi pertama di Leipzig yang menandai titik awal Psikologi sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Sebagai tokoh Psikologi Eksperimental, Wundt memperkenalkan metode Introspeksi yang digunakan dalam eksperimen-eksperimennya. Ia dikenal sebagai tokoh penganut Strukturalisme karena ia mengemukakan suatu teori yang menguraikan struktur dari jiwa. Wundt percaya bahwa jiwa terdiri dari elemen-elemen (Elementisme) dan ada mekanisme terpenting dalam jiwa yang menghubungkan elemen-elemen kejiwaan satu sama lainnya sehingga membentuk suatu struktur kejiwaan yang utuh yang disebut asosiasi. Oleh karena itu, Wundt juga dianggap sebagai tokoh Asosianisme.

1.Psikologi Sebagai Bagian dari Filsafat dan Ilmu Faal
Sebelum 1879, psikologi dianggap sebagai bagian dari filsafat atau ilmu faal. Pada mulanya ahli-ahli filsafat dari zaman Yunani Kuno-lah yang mulai memikirkan gejala-gejala kejiwaan. Saat itu belum ada pembuktian-pembuktian secara empiris atau ilmiah. Mereka mencoba menerangkan gejala-gejala kejiwaan melalui mitologi. Cara pendekatan seperti itu disebut sebagai cara pendekatan yang naturalistik.
Di antara sarjana Yunani yang menggunakan pendekatan naturalistik adalah Thales (624-548 SM) yang sering disebut sebagai Bapak Filsafat. Ia meyakini bahwa jiwa dan hal-hal supernatural lainnya tidak ada karena sesuatu yang ada harus dapat diterangkan dengan gejala alam (natural phenomenon). Ia pun percaya bahwa segala sesuatu berasal dari air dan karena jiwa tidak mungkin dari air maka jiwa dianggapnya tidak ada. Tokoh lainnya adalah Anaximander (611-546 SM) yang mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari sesuatu yang tidak tentu, sementara Anaximenes (abad 6 SM) mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari udara. Tokoh yang tak kalah pentingnya adalah Empedocles, Hippocrates,danDemocritos.
Empedocles (490-430 SM) mengatakan bahwa ada empat elemen besar dalam alam semesta, yaitu bumi/tanah, udara, api, dan air. Manusia terdiri dari tulang, otot, dan usus yang merupakan unsur dari tanah; cairan tubuh merupakan unsur dari air; fungsi rasio dan mental merupakan unsur dari api; sedangkan pendukung dari elemen-elemen atau fungsi hidup adalah udara. Berdasarkan pada pandangan Empedochles, Hipocrates (460-375 SM) yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Kedokteran, menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat empat cairan tubuh yang memiliki kesesuaian sifat dengan keempat elemendasartersebut.
Berdasarkan komposisi cairan yang ada dalam tubuh manusia tersebut maka Hipocrates membagi manusia dalam empat golongan, yaitu:
• Sanguine, orang yang mempunyai kelebihan (terlalu banyak ekses) darah dalam tubuhnya mempunyai temperamen penggembira.
•Melancholic,terlalu banyak sumsum hitam, bertemperamen pemurung.
•Choleric, terlalu banyak sumsum kuning,bertemperamen semangat dan gesit.
•Plegmatic,terlalu banyak lender dan bertemperamen lamban.
Democritus (460-370 SM) berpendapat bahwa seluruh realitas yang ada di dunia ini terdiri dari partikel-partikel yang tidak dapat dibagi lagi yang oleh Einstein kemudian diberi nama “atom”. Beratus-ratus tahun sesudah Democritus prinsip tersebut masih diikuti oleh beberapa sarjana, antara lain I.P. Pavlov dan J.B. Watson yang sama-sama berpendapat bahwa ‘atom’ dari jiwa adalah refleks-refleks.
Tokoh-tokoh Yunani kuno tersebut di atas pada dasarnya menganggap bahwa jiwa adalah satu dengan badan. Jiwa dan badan berasal dari unsur-unsur yang sama dan tunduk pada hukum-hukum yang sama (pandangan monoisme). Selain pandangan monoisme, tumbuh pula pandangan dualisme, yaitu pandangan yang memisahkan jiwa dari badan, jiwa tidak sama dengan badan, dan masing-masing tunduk pada peraturan-peraturan atau hukum-hukum yang terpisah. Tokoh-tokoh terkenal yang menganut pandangan dualisme antara lain: Socrates (469-399SM), Plato (427-347SM), dan Aristoteles (384-322SM).
Socrates berpandangan bahwa pada setiap manusia terpendam jawaban mengenai berbagai persoalan dalam dunia nyata. Masalahnya adalah kebanyakan manusia tidak menyadarinya. Oleh karena itu, perlu ada orang lain—semacam bidan—yang membantu melahirkan sang ‘Ide’ dari dalam kalbu manusia. Socrates mengembangkan metode tanya jawab untuk menggali jawaban-jawaban terpendam mengenai berbagai persoalan. Dengan metode tanya jawab yang disebut “Socratic Method” itu akan timbul pengertian yang disebut “Maieutics” (menarik keluar seperti yang dilakukan oleh bidan). Maieutics ini kemudian ditumbangkan oleh R. Rogers tahun 1943 menjadi teknik dalam psikoterapi yang disebut “Non Directive Techniques”, suatu teknik yang digunakan oleh psikolog atau psikoterapis untuk menggali persoalan-persoalan dalam diri pasien sehingga ia menyadari sendiri persoalan-persoalannya tanpa terlalu diarahkan oleh psikolog atau psikoterapisnya. Socrates menekankan pentingnya pengertian tentang “diri sendiri” bagi setiap manusia sehingga menurutnya adalah kewajiban setiap orang untuk mengetahui dirinya sendiri terlebih dahulu kalau ia ingin mengerti tentang hal-hal di luar dirinya. Semboyannya yang terkenal adalah “belajar yang sesungguhnya pada manusia adalah belajar tentang manusia.
Sementara Plato, murid dan pengikut setia Socrates dan dianggap sebagai penganut dualisme yang sebenar-benarnya, mengatakan bahwa dunia kejiwaan berisi ide-ide yang berdiri sendiri terlepas dari pengalaman hidup sehari-hari. Pada orang dewasa dan intelektual, mereka dapat membedakan mana jiwa dan mana badan. Akan tetapi, pada anak-anak jiwa masih bercampur dengan badan, belum bisa memisahkan Ide dari benda-benda kongkrit. Jiwa yang berisi Ide-Ide ini diberi nama “Psyche”. Selain itu, Plato juga meyakini bahwa tiap-tiap orang telah ditetapkan status dan kedudukannya di masyarakat sejak lahir apakah ia seorang filsuf, prajurit, atau pekerja.[2] Ia percaya bahwa tiap orang dilahirkan dengan kekhususan tersendiri, tidak sama antara satu sama lainnya. Dengan demikian, selain dianggap sebagai penganut paham Determinisme atau Nativisme, ia pun dianggap sebagai tokoh pemula dari paham “individual differences.” Dalam perkembangan psikologi selanjutnya, paham individual differences ini membawa para sarjana ke arah penemuan alat-alat pemeriksaan psikologi (psikotes).
Kalau Plato dianggap sebagai seorang rasionalis yang percaya bahwa segala sesuatu berasal dari ide-ide yang dihasilkan rasio maka Aristoteles (385-322 SM), murid Plato, berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang berbentuk kejiwaan (form) harus menempati sesuatu wujud tertentu (matter). Wujud ini pada hakikatnya merupakan pernyataan atau ekspresi dari jiwa. Tuhanlah satu-satunya yang tanpa wujud, hanya form saja. Aristoteles sering disebut sebagai Bapak Psikologi Empiris karena menurutnya segala sesuatu harus bertitik tolak dari realita, yaitu matter. Matter-lah sumber utama pengatahuan. Pandangan dan teori-teori Aristoteles tentang Psikologi dapat dilihat dalam bukunya yang terkenal De Anima, yang sesungguhnya merupakan buku tentang ilmu hewan komparatif dan biologi. Dalam buku itu ia mengatakan bahwa setiap benda di dunia ini mempunyai dorongan untuk tumbuh dan menjadi sesuatu sesuai dengan tujuan yang sudah terkandung dalam benda itu sendiri. Aristoteles selanjutnya membedakan antara hule dan morphe. Hule (Noes Photeticos) adalah “yang terbentuk”. sedangkan Morphe (Noes Poeticos) adalah “yang membentuk”. Benda dalam alam tidak tumbuh dan berkembang begitu saja, tetapi menjadi atau diperkembangkan menjadi sesuatu. Sebelum benda itu terwujud benda itu berupa kemungkinan. Selanjutnya Aristoteles membedakan tiga macam form, yaitu: Plant, yang mengontrol fungsi-fungsi vegetatif; Animal, dapat dilihat dalam fungsi-fungsi seperti: mengingat, mengharap, dan persepsi; Rasional, yang memungkinkan manusia malakukan penalaran (reasoning) dan membentuk konsp-konsep. Khusus pada manusia, dorongan untuk tumbuh ini berbentuk dorongan untuk merealisasikan diri (self realization) yang disebut entelechi. Menurut Aristoteles fungsi jiwa dibagi dua, yaitu kemampuan untuk mengenal dan kemampuan berkehendak. Pandangan ini dikenal sebagai “dichotomi”.
Berabad-abad setelah zaman Yunani Kuno, Psikologi masih merupakan bagian dari Filsafat. Pada masa Renaissance, di Francis muncul Rene Decartes (1596-1650) yang terkenal dengan teori tentang “kesadaran”, sementara di Inggris muncul tokoh-tokoh seperti John Locke (1623-1704), George Berkeley (1685-1753), James Mill (1773-1836), dan anaknya John Stuart Mill (1806-1873), yang semuanya itu dikenal sebagai tokoh-tokoh aliran Asosianisme.
Dalam perkembangan Psikologi selanjutnya, peran sejumlah sarjana ilmu Faal yang juga menaruh minat terhadap gejala-gejala kejiwaan tidak dapat diabaikan. Tokohnya antara lain: C. Bell (1774-1842), F. Magendie (1785-1855), J.P. Muller (1801-1858), P. Broca (1824-1880), dan sebagainya. Nama seorang sarjana Rusia, I.P. Pavlov (1849-1936), tampaknya perlu dicatat secara khusus karena dari teori-teorinya tentang refleks kemudian berkembang aliran Behaviorisme, yaitu aliran dalam psikologi yang hanya mau mengakui tingkah laku yang nyata sebagai objek studinya dan menolak anggapan sarjana lain yang mempelajari juga tingkah laku yang tidak tampak dari luar. Selain itu, peranan seorang dokter berdarah campuran Inggris-Skotlandia bernama William McDaugall (1871-1938) perlu pula dikemukakan. Ia juga telah memberi inspirasi kepada aliran Behaviorisme di Amerika dengan teori-teorinya yang dikenal dengan nama “Purposive Psychology”.
Sementara para sarjana Filasafat maupun ilmu Faal berusaha untuk menerangkan gejala-gejala kejiwaan secara ilmiah murni, muncul pula orang-orang yang secara spekulatif mencoba untuk menerangkan gejala-gejala kejiwaan dari segi lain. Diantara mereka adalah F.J. Gall (1785-1828) yang mengemukakan bahwa jiwa manusia dapat diketahui dengan cara meraba tengkorak kepala orang tersebut. Teori Gall dikembangkan dari pandangan Psikologi Fakultas (Faculty Psychology) yang dikemukakan seorang tokoh gereja bernama St. Agustine (354-430). Menurut Agustine, dengan mengeksplorasi kesadaran melalui metode “introspeksi diri”, dalam jiwa terdapat bagian-bagian atau fakultas (faculties). Fakultas tersebut antara lain: ingatan, imajinasi, indera, kemauan, dan sebagainya. Menurut Gall, karena setiap fakultas kejiwaan dicerminkan pada salah satu bagian tertentu di tengkorak kepala maka dengan mengetahui bagian-bagian tengkorak mana yang menonjol kita akan mengetahui fakultas-fakultas kejiwaan mana yang menonjol pada orang tertentu sehingga kita dapat mengetahui pula keadaan jiwanya. Teori dari Gall tersebut dikenal dengan Phrenologi. Teori yang seolah-olah ilmiah ini pada dasarnya hanya bersifat ilmiah semu (pseudo science). Metote lainnya yang juga bersifat ilmiah semu antara lain: Phiognomi (Ilmu Wajah/Raut Muka), Palmistri (Ilmu Rajah Tangan), Astrologi (Ilmu Perbintangan), Numerologi (Ilmu Angka-angka), dan sebagainya.

2.Psikologi Sebagai Ilmu yang Berdiri Sendiri
Pada akhir abad ke-19 terjadilah babak baru dalam sejarah Psikologi. Pada tahun 1879, Wilhem Wundt (Jerman, 1832-1920) mendirikan laboratorium Psikologi pertama di Leipzig yang menandai titik awal Psikologi sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Sebagai tokoh Psikologi Eksperimental, Wundt memperkenalkan metode Introspeksi yang digunakan dalam eksperimen-eksperimennya. Ia dikenal sebagai tokoh penganut Strukturalisme karena ia mengemukakan suatu teori yang menguraikan struktur dari jiwa. Wundt percaya bahwa jiwa terdiri dari elemen-elemen (Elementisme) dan ada mekanisme terpenting dalam jiwa yang menghubungkan elemen-elemen kejiwaan satu sama lainnya sehingga membentuk suatu struktur kejiwaan yang utuh yang disebut asosiasi. Oleh karena itu, Wundt juga dianggap sebagai tokoh Asosianisme.
Edward Bradford Titchener (1867-1927) mencoba menyebarluaskan ajaran-ajaran Wundt ke Amerika. Akan tetapi, orang Amerika yang terkenal praktis dan pragmatis kurang suka pada teori Wundt yang dianggap terlalu abstrak dan kurang dapat diterapkan secara langsung dalam kenyataan. Mereka kemudian membentuk aliran sendiri yang disebut Fungsionalisme dengan tokoh-tokohnya antara lain: William James (1842-1910) dan James Mc Keen Cattel (1866-1944). Aliran ini lebih mengutamakan fungsi-fungsi jiwa dari pada mempelajari strukturnya. Ditemukannya teknik evaluasi psikologi (sekarang psikotest) oleh Cattel merupakan bukti betapa pragmatisnya orang-orang Amerika.
Meskipun sudah menekankan pragmatisme, namun aliran Fungsionalisme masih dianggap terlalu abstrak bagi segolongan sarjana Amerika. Mereka menghendaki agar Psikologi hanya mempelajari hal-hal yang benar-benar objektif saja. Mereka hanya mau mengakui tingkah laku yang nyata (dapat dilihat dan diukur) sebagai objek Psikologi (Behaviorisme). Pelopornya adalah John Broades Watson (1878-1958) yang kemudian dikembangkan oleh Edward Chase Tolman (1886-1959) dan B. F. Skinner (1904).
Selain di Amerika, di Jerman sendiri ajaran Wundt mulai mendapat kritik dan koreksi-koreksi. Salah satunya dari Oswald Kulpe (1862-1915), salah seorang muridnya yang kurang puas dengan ajaran Wundt dan kemudian mendirikan alirannya sendiri di Wurzburg. Aliran Wurzburg menolak anggapan Wundt bahwa berpikir itu selalu berupa image (bayangan dalam alam pikiran). Kulpe berpendapat, pada tingkat berpikir yang lebih tinggi apa yang dipikirkan itu tidak lagi berupa image, tapi ada pikiran yang tak terbayangkan (imageless thought).
Di Eropa muncul juga reaksi terhadap Wundt dari aliran Gestalt. Aliran Gestalt menolak ajaran elementisme Wundt dan berpendapat bahwa gejala kejiwaan (khususnya persepsi, yang banyak diteliti aliran ini) haruslah dilihat sebagai suatu keseluruhan yang utuh (suatu gestalt) yang tidak terpecah dalam bagian-bagian. Diantara tokohnya adalah Max Wertheimer (1880-1943), Kurt Koffka (1886-1941), Wolfgang Kohler (1887-1967) .Di Leipzig, pada tahun 1924 Krueger memperkenalkan istilah Ganzheit (berasal dari kata da Ganze yang berarti keseluruhan). Meskipun istilah Ganzheit masih dianggap sama dengan istilah Gestalt dan aliran ini sering tidak dianggap sebagai aliran tersendiri, namun menurut tokohnya, Krueger, Ganzheit tidak sama dengan Gestalt dan merupakan perkembangan dari psikologi Gestalt. Ia berpendapat bahwa psikologi Gestalt terlalu menitikberatkan kepada masalah persepsi objek, padahal yang terpenting adalah penghayatan secara menyeluruh terhadap ruang dan waktu, bukan persepsi saja atau totalitas objek-objek saja.
Perkembangan lebih lanjut dari psikologi Gestalt adalah munculnya “Teori Medan (Field Theory)” dari Kurt Lewin (1890-1947). Mulanya Lewin tertarik pada faham Gestalt, tetapi kemudian ia mengeritiknya karena dianggap tidak adekuat. Namun demikian, berkat Lerwin, sebagai perkembangan lebih lanjut di Amerika Serikat lahir aliran “Psikologi Kognitif” yang merupakan perpaduan antara aliran Behaviorisme yang tahun 1940-an sudah ada di Amerika dengan aliran Gestalt yang dibawa oleh Lewin. Aliran psikologi Kognitif sangat menitikberatkan proses-proses sentral (seperti sikap, ide, dan harapan) dalam mewujudkan tingkah laku. Secara khusus, hal-hal yang terjadi dalam alam kesadaran (kognisi) dipelajari oleh aliran ini sehingga besar pengaruhnya terutama dalam mempelajari hubungan antar manusia (Psikologi Sosial). Diantara tokohnya adalah F. Heiderdan L. Fertinger.
Akhirnya, lahirnya aliran Psikoanalisa yang besar pengaruhnya dalam perkembangan psikologi hingga sekarang, perlu mendapat perhatian khusus. Meskipun peranan beberapa dokter ahli jiwa (psikiater), seperti Jean Martin Charcot (1825-1893) dan Pierre Janet 1859-1947) tidak kurang pentingnya dalam menumbuhkan aliran ini, namun Sigmund Freud-lah (1856-1939) yang dianggap sebagai tokoh utama yang melahirkan Psikoanalisa. Karena Psikoanalisa tidak hanya berusaha menjelaskan segala sesuatu yang tampak dari luar saja, tetapi secara khusus berusaha menerangkan apa yang terjadi di dalam atau di bawah kesadaran manusia, maka Psikoanalisa dikenal juga sebagai “Psikologi Dalam (Depth Pshology)”.

SUMBER :http://luvlyjuly.blog.friendster.com/2009/01/sejarah-perkembangan-psikologi/

Tujuan Mempelajari Psikologi

Pada garis besarnya orang mempelajari ilmu jiwa adalah untuk menjadikan manusia supaya hidupnya baik,bahagia dan sempurna. Karna, hanya dengan mempelajari hal ihwal manusia, kita bisa menghindari atau paling tidak meminimalisasikan suatu masalah antar manusia. Begitupula mempelajari psikologi ada beberapa manfaat yang kita ambil darinya. Berikut penjelasan tujuan dan kegunaan mempelajari psikologi.

Test Binet kemudian disempurnakan lebih lanjut oleh ahli-ahli lain antara lain oelh Stern,Terman Merril dan sebagainya.



Salah satu revisi yang terkenal ialah dari Terman untuk dipakai di Amerika yang terkenal dengan “standford Revision” dan sering disebut test inteligensi Stanford - Binet. Dan masih banyak test - test yang lain, misalnya test Rorschach, test Kreeplin, test T.A.T.



Test dapat dibedakan atas bermacam - macam jenis yaitu:



1. Menurut banyaknya orang yang di-test, test dapat dibedakan atas:

· Test perorangan (individual), yaitu test yang diberikan secara perorangan.

· Test kelompok, yaitu merupakan test yang diberikan secara kelompok.

Dari uraian diatas dapat kita kesimpulan, bahwa manfaat dan tujuan mempelajari ilmu jiwa adalah:

· Untuk memperoleh faham tentang gejala - gejala jiwa dan pengertian yang lebih sempurna tentang tingkah laku sesama manusia pada umumnya dan anak - anak pada khususnya.

· Untuk mengetahui perbuatan - perbuatan jiwa serta kemampuan jiwa sebagai sarana untuk mengenal tingkah laku manusia atau anak.

· Untuk mengetahui penyelenggaraan pendidikan dengan baik.

SUMBER : Abu Ahmadi, H.Drs., Psikologi Umum, penerbit RINEKA CIPTA,2003.

TUJUAN MEMPELAJARI PSIKOLOGI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar